Minyak jelantah (waste cooking oil) adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya, dan minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya, dapat digunakan kembali untuk keperluaran kuliner. Tapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia, menimbulkan penyakit kanker, dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya. Untuk itu perlu penanganan yang tepat agar limbah minyak jelantah ini dapat bermanfaat dan tidak menimbulkan kerugian dari aspek kesehatan manusia dan lingkungan.
Minyak bekas penggorengan bisa diolah kembali menjadi energi baru lagi sebagai energi biodiesel dengan melalui tahapan proses kimiawi dan pemanasan. Pemerintah Kota Denpasar sudah lama melirik potensi minyak jelantah menjadi energi biodiesel yang baru. Dengan menggandeng Lembaga Caritas dari Switzerland, minyak jelantah yang selama ini menjadi limbah terbuang sia-sia di Denpasar kembali menjadi energi terbarukan yang bermanfaat bukan hanya untuk manusia saja, namun juga bagi lingkungan dan penghijauan alam.
Beruntung, hari Jumat (25/10/2013) penulis bisa langsung menemui Bapak Pua Muhammad Saleh, Executive Director Lengas Hijau yang mengelola minyak jelantah menjadi energi biodiesel yang baru di pusat pengolahan Jalan Cargo Sari 4x Ubung Kaja , Denpasar Utara.
Keprihatinan yang sangat besar akan adanya bahaya dari minyak jelantah yang terus dipakai berulang-ulang membuat banyak kalangan pemerhati ekonomi lingkungan dan kesehatan di Switzerland yang tergabung dalam “Caritas” mau mengulurkan bantuannya kepada Pemkot Denpasar. Ditambah akan langkanya sumber energi solar beberapa waktu lalu di Indonesia yang juga mengakibatkan banyak usaha non-formal kesulitan dan mati suri menjalankan usahanya.
“Jadi dengan alasan penyelamatan kesehatan manusia, juga kesehatan lingkungan dan pemanasan global, maka minyak jelantah memang harus diolah kembali menjadi energi baru biodiesel”, Pua Muhammad menerangkan kepada kami.
“Potensi minyak jelantah yang dihasilkan oleh hotel, restaurant dan warung-warung di Denpasar sangat besar. Diperkirakan hampir 3.000 liter setiap hari, minyak jelantah dijual kembali kepada pengepul untuk dijadikan minyak goreng baru dan dipasarkan kepada masyarakat. Berdasarkan pengalaman, minyak jelantah memang bisa diputihkan (bleaching) dengan zat kimia atau disaring kembali sehingga lebih bersih dan terlihat lebih jernih. Namun ini membahayakan kesehatan manusia karena adanya zat karsinogenik yang memicu terjadinya penyakit kanker pada manusia.
“Ada beberapa hotel dan restaurant di Denpasar yang mau menjual minyak jelantahnya kepada kami dengan harga Rp.2.000 / liter. Termasuk McDonald dan beberapa restaurant lainnya. KFC belum mau menjualnya kepada kami. Kata beberapa sumber, pengepul liar berani membeli minyak jelantah hingga Rp.3.500,- per liternya. Inilah tantangan dan potensi besar yang memacu kami untuk lebih berani menembus mereka. Tentunya kesehatan warga masyarakat dan program CSR yang harusnya menjadi acuan utama para pemilik hotel dan restaurant itu. Tapi sayangnya, baru sedikit dari mereka yang menyadari hal ini. Padahal begitu sudah menjadi biosolar, akan kami kembalikan lagi kepada hotel dan restaurant tersebut dengan harga yang lebih terjangkau dan lebih murah”.
“Produksi kami dalam sebulan sudah mencapai 400-500 liter biodiesel. Dan ini tidak mengganggu market dari Biodiesel yang dijual Pertamina. Karena kami juga hanya menjualnya kepada Hotel dan restaurant saja.” jelas Pua Muhammad Saleh.
Pihak hotel dan restoran yang sudah bekerja sama mau mengumpulkan minyaknya untuk dibeli Caritas menurutnya bisa menggunakan hal ini sebagai program CSR dan dimanfaatkan untuk image hotel. “Silakan ajak turisnya ke sini biar mereka tahu limbah hotel diolah untuk bahan bakar ramah lingkungan,” kata Pua.
Keuntungan Memakai Energi Biodiesel Yang Berasal Dari Minyak Jelantah
Bila kita mengetahui beberapa keuntungan yang akan didapat dari pemakaian energi biodiesel berasal dari minyak jelantah tentunya ini akan berdampak positif kepada usaha pelestarian lingkungan dan peningkatan kesehatan masyarakat.
1. - Bisa disimpan dan ditangani persis seperti solar biasa
2. Memiliki titik nyala lebih tinggi ( minimal 130 ° C ) dan karena itu lebih aman dibandingkan solar biasa ( minimal 52 ° C )
3. Ini adalah biodegradable ( tidak mencemari lingkungan dan aman)
4. Menjaga sistem bahan bakar bersih bagi mesin yang memakai.
5. Peningkatan pelumasan mesin
6. Bagi emisi Mesin :
- Karbon monoksida lebih rendah ( CO )
- Partikulat yang lebih rendah ( PM )
- Rendah hidrokarbon dan tidak terbakar ( HC )
- Menambah atau mengurangi emisi polutan.
Proses Pengolahan Minyak Jelantah Menjadi Biodiesel
Secara sederhana pengolahan minyak jelantah menjadi energi baru biodiesel sangatlah murah dan ramah lingkungan. Dan dengan pengelolaan yang tepat, hasilnya ternyata sangat mengagumkan untuk bisa digunakan kembali bagi kepentingan masyarakat banyak.
Minyak jelantah yang berasal dari hotel dan restaurant di Denpasar, Badung dan Gianyar dikumpulkan dalam satu wadah untuk bisa difilterisasi lagi. Karena biasanya minyak jelantah tersebut masih banyak campuran-campuran zat lain termasuk air yang bisa mengganggu jalannya proses pengolahan biodiesel. Hingga akhirnya terpisah antara minyak dan sedimen kotor yang tidak diperlukan lagi.
Proses selanjutnya setelah minyak jelantah dibersihkan dan benar-benar murni, maka minyak jelantah memasuki tahap penyulingan dalam wadah reaktor. Adapun contoh sederhana untuk bisa memahami proses reaktor ini adalah sebagai berikut : Soda api atau NaOH 4,5 gram Soda api dilarutkan dalam methanol dan kemudian dimasukan ke dalam minyak dipanaskan sekitar 60 derajat Celsius, diaduk dengan cepat selama 15-20 menit kemudian dibiarkan dalam keadaan dingin semalam.
Maka akan diperoleh biodiesel pada bagian atas dengan warna jernih kekuningan dan sedikit bagian bawah campuran antara sabun dari FFA, sisa methanol yang tidak bereaksi dan glyserin sekitar 79 ml. Biodiesel yang merupakan cairan kekuningan pada bagian atas dipisahkan dengan mudah dengan menuang dan menyingkirkan bagian bawah dari cairan. Untuk skala besar produk bagian bawah dapat dimurnikan untuk memperoleh gliserin yang berharga mahal, juga sabun dan sisa methanol yang tidak bereaksi.
Hingga akhirnya bisa diperoleh biodiesel murni dan gliserin sebagai limbah.
Bagaimana penanganan gliserin ? Menurut Pua Muhammad Saleh, gliserin ternyata limbah yang menguntungkan. Karena banyak diminta dan diekspor ke negara - negara macan Asia seperti Korea dan Jepang yang diolah kembali menjadi bahan produksi berbahan kulit.
Sehingga pembuatan minyak jelantah menjadi energi biodiesel adalah proses yang aman, murah dan menguntungkan bagi banyak pihak termasuk masyarakat, pemerintah dan pengelola.
Namun sungguh disayangkan ketika pihak hotel dan restaurant di Bali belum banyak mengenal dan memahami betapa pentingnya kesadaran agar tidak memakai kembali minyak goreng yang sudah dipakai (jelantah) dan memahami betapa berbahayanya bila jelantah dijual kembali kepada pengepul liar yang merugikan masyarakat. Inilah kesadaran yang harus lebih ditingkatkan kepada penyelenggara pariwisata.
Kalau sudah dianggap sebagai pencemaran dan membahayakan kesehatan , lantas dimana tanggung jawab pihak hotel, restaurant bila mereka tidak mau menyerahkan minyak jelantah kepada pengelola biodiesel ini ? Bukankah keuntungan yang mereka dapatkan dari masyarakat pecinta kuliner gorengan sudah demikian banyak dan besar ? Tentulah mereka harus menyadari ini sebagai bentuk tanggung jawab pelestarian alam, peningkatan kesehatan manusia dan penyelamatan dari global warming.
Semoga saja tindakan kita yang hanya mau mencari keuntungan sendiri bisa dilemahkan dan mulai melirik potensi minyak jelantah sebagai energi biodiesel yang murah dan aman bagi masa depan anak cucu kita.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar